Siang itu adalah siang pertama saya dan Bapak makan siang bersama lagi di rumah setelah saya menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Bandung selama satu tahun. Senang rasanya bisa kembali berkumpul dengan orang tua. Saking rindunya, saya sudah meninggalkan asrama PPG lebih dulu dibanding teman-teman yang lain padahal masih menyisakan acara yudisium. Siang itu Mama memasak makanan kesukaanku, ikan bandeng yang “dinasu kecci” kemudian kuahnya ditambah cabe rawit, eemm…sedaap.
Biasanya setelah menghabiskan makanannya, Bapak langsung berdiri dari tempat duduknya, karena di adat kami orang Bugis, dilarang duduk berlama-lama di tempat makan, harus segera berdiri meninggalkan tempat makan, meski sampai sekarang saya hanya bisa menebak-nebak apa sebenarnya mudharat duduk berlama-lama di tempat makan, mungkin karena tempat makan ingin segera dibersihkan dari sisa makanan. Ternyata ada sesuatu yang ingin didiskusikan oleh beliau. Seperti sudah direncanakan sebelumnya, sengaja Mama tidak ikut makan bersama dan membiarkan kami makan berdua saja.
“Bagaimana Nak, kapan kita pergi melamar.?”
“Melamar siapa Pak.?”
“Yah…teman kamu itu, yang pernah kamu ajak ke rumah waktu itu. Atau kalau bukan dia, disana juga ada sepupumu, sekarang dia kuliah dan sudah semester lima. Kamu tinggal pilih yang mana yang kamu suka.”
Sontak saja perasaan saya jadi tidak karuan, kaget, salah tingkah dan masih banyak perasaan aneh yang saya sendiri tidak tau apa namanya.
“Wah…Pak, jangan dulu lah, saya belum siap. Saya belum berfikir ke arah itu. Rencana saya, saya mau ke Palembang dulu, bekerja setahun atau dua tahun dulu, mengenal situasi di sana dulu, mau cari tempat tinggal dulu di sana, naah kalau semua itu sudah terwujud, baru saya akan pulang membicarakan tentang ini Pak.”
“Justru Bapak sengaja ingin menyegerakan kamu untuk menikah, selain supaya ada yang menemani kamu nantinya di Palembang, kamu tahu sendiri Nak, umur Bapak sudah lumayan tua, sudah sakit-sakitan, betapa sedihnya Bapak seandainya bapak tidak bisa melihat kamu menikah, yang berarti pula tanggung jawab bapak sebagai orang tua tidak terlaksana.”
Wow, kata-kata bapak ini benar-benar menguras perasaanku.
“Tapi Pak!”
“Bapak sama Mamamu punya sedikit tabungan hasil penjualan mobil pete’-pete’ (Angkot) kita, juga ditambah hasil berdagang kecil-kecilan kita di depan rumah, mudah-mudahan itu cukup untuk biaya pernikahanmu nanti. Dengar-dengar sawah kita yang di Desa Makkaraeng sana juga sudah dilirik PT. Angkasa Pura untuk proyek perluasan bandara. Insya Allah cukup Nak.”
Allahu Akbar, saya benar-benar kalah untuk masalah ini, tak sanggup lagi saya menolak permintaan bapak. Saya merasa sangat beruntung, dikala teman-teman yang lain banyak yang ingin menikah tapi terkendala oleh sebab ini dan itu, ini malah saya disuruh untuk segera menikah.
“Baiklah Pak, saya pikir-pikir lagi.”
Di sore harinya, saya memanfaatkan hari pertama saya di kampung dengan bersepeda keliling kampung. Tampak banyak perubahan. Sekarang sudah ada pabrik sosis yang berdiri megah tepat disamping rumah. Empang kakek yang sewaktu kecil dulu kami selalu menghabiskan liburan dengan memancing atau sekedar bermain-main di rumah pohon, sekarang sudah tertutupi bangunan pabrik. Teman-teman sepermainan waktu kecil dulu, sekarang sudah tak terihat lagi di kampung, ada yang merantau, ada yang bekerja dan ada juga yang sudah pindah kampung karena ikut suami atau istrinya. Aahh…saya kangen dengan masa kecil dulu.
“Zal, sini Zal.!”
“Iya Om. Wah anaknya sudah besar yah.”
“Iya nih, sudah besar tapi belum bisa jalan, lehernya saja masih belum bisa tegak sendiri. Doain yah supaya bisa sepintar kamu nantinya.”
“Insya Allah Om, Mudah-mudahan jadi anak sholeh dan pintar yah dek.”
“Bagaimana Zal, bapakmu sudah ngomong belum.?”
“Tentang apa Om.?”
“Ya…tentang sepupumu yang akan dilamarkan untuk kamu.”
“Ooh…sudah Om”
“Lalu bagaimana.?”
“Belum tau Om, saya masih bingung”
“Kamu tidak kasihan sama bapakmu, dia itu sudah ingin melihat kamu menikah. Bapakmu sudah cerita semuanya sama om, bahkan dia meminta om untuk membantu membujukmu. Mau yah Nak.”
“Hmm…gimana ya Om. Saya minta petunjuk Allah dulu ya Om.” Hening sejenak.
“Sudah hampir maghrib, saya pulang dulu ya Om, dada dede ganteng, mmmuaach”
Waah, ternyata ini bukan main-main lagi. Bapak sampai sudah cerita dan minta bantuan keluarga yang lain untuk membujuk saya. Baiklah, permainan dimulai. Bismillah
Seusai shalat Isya di mesjid milik pabrik sosis itu, saya segera pulang, membuka laptop dan mencari foto cewe’, wanita, akhwat atau apalah namanya. Dari ribuan nominasi, terpilihlah tiga gambar dengan kelebihan dan keunikannya masing-masing. Pastinya tidak asal pilih yah, ketiganya sesuai dengan kriteria yang Rasulullah ajarkan. Sholehah, cantik, pinter dan dari keturunan yang baik-baik. Kalau kata orang harus bagus bibit, bobot dan bebetnya. Selamat untuk ketiga nominasi dan pada kesempatan ini pula saya minta maaf kepada para nominasi yang tidak terpilih. He.he
Di ruang keluarga, ada Mama, kakak dan ade’ koro-koroang lagi nonton tv. Segera saya bawa laptop ke hadapan Mama.
“Mah…Mama sayang, mama kan sudah pengen punya menantu dari anak gantengmu ini, sok silahkan Mama pilih, tunjuk saja yang mana yang mama suka. Tapi maaf mah, teman yang pernah saya ajak kerumah itu bukan pacar saya, hanya teman kuliah yang kebetulan rumahnya dekat dari sini jadi saya ajak mampir. Sudah lama saya tidak berkomunikasi dengannya, takut dia sudah ada yang punya jadi dia tidak saya pilih. Lalu untuk sepupu saya yang kata bapak cocok sama saya, saya juga tidak pilih dia, kata guru SMA saya, menikah dengan keluarga dekat kurang bagus, kadang keturunannya cacat mah”
“Kok Mama yang pilih, yang mau nikah kan kamu”
“Nggak Mah, untuk urusan yang satu ini saya serahkan ke mama saja lah, Insya Allah kalau mama suka, saya juga suka”
“yang ini cantik, yang ini juga, wah yang ini juga manis. Udah nikahi ketiga-tiganya saja Zal (He.he..yang ini HOAX, ini mah maunya saya ). Yang ini orang mana, kalau yang ini.?” Mama menjejali saya dengan puluhan pertanyaan.
“Yang ini orang sini mah, nah kalau yang ini orang sana, kalau yang manis ini dari situ mah. Yang ini pinter, sholehah, Cuma agak cerewet. Kalau yang ini pendiam mah, tapi agak cuek. Nah kalau yang manis ini begini tapi begitu.” Hoaah…lebih-lebih dari introgasi polisi saja mama nih.
“Pede amat kamu dek milih-milih cewek seperti itu, emang mereka suka sama kamu.?” Kakakku yang cantik ikut nyeletuk.
“Belum tau juga sih kak, pokoknya mama pilih saja yang mana menurut mama yang paling cocok dijadiin menantu, nah selanjutnya biarkan saya yang menanyakan ke dia, mau nggak dia jadi menantu mama. He.he”
Akhirnya mama telah menunjuk satu yang cantik. Melalui istikharah yang panjang dan berulang, saya tanyakan keadaan si hamba kepada Penciptanya, baikkah dia untuk saya. Baikkah dia untuk agama, dunia dan akhirat saya. Jika baik, mudahlancarkan niat ini. jika tidak baik maka susahsulitkan prosesnya.
Keesokan harinya, sengaja saya ke mesjid Al-Markaz Al-Islami Maros, mesjid kebanggan kami orang Buttasalewangang. Di mesjid ini rutin diadakan pengajian ba’da Magrib sampai Isya. Seusai shalat Isya, saya berputar di depan mesjid, mencari tempat yang nyaman, segera saya keluarkan ponsel dari saku celana, mencari nomer si cewek yang sudah dipilih mama semalam dan langsung menghubunginya. Saya hubungi, tapi sebelum nyambung ke dia, segera saya matikan. Berulang kali saya lakukan seperti itu. Tak berani rasanya mengutarakan semua ini padanya. Saya kembali merancang kalimat, kata demi kata dihubungkan dengan konjungsi yang sesuai. Detak jantung bergemuruh saling kejar-kejaran seakan ingin merobek dada ini. lidah terasa kaku seakan bertulang. Dinginnya malam tak kuasa membendung keringat di sekujur tubuh. Ooh Allah, kuatkan hamba.
“Assalamu Alaikum”
“Wa’alaikum salam warahmatullah”
“Dimana sekarang?”
“Lagi di asrama kak, ada apa ya kak?”
“Nggak, ga papa. Eee.ee.e.sebelumnyasaya minta maaf kalau saya lancang. Eehh..ini, kamu sudah ada yang khitbah belum?”
(Terdiam sejenak) “Insya Allah belum ada kak”
“ee..ee..ee kamu mau tidak menikah dengan saya?” Wahahaiii…tudepoin banget saya yah
(dianya terdiam)
“Orang tua saya ingin segera melihat saya menikah, mereka takut keburu meninggal dan tidak sempat melihat saya menikah”
“Saya minta waktu ya kak, soalnya saya harus mendiskusikannya dengan mama dan keluarga yang lain. Berapa lama kira-kira saya diberi waktu untuk istikharah?”
“Tidak usah cepat-cepat. Mohon petunjuk Allah. Namun jika sudah ada keputusan, lebih cepat lebih baik.”
“Saya minta waktu sampai hari jumat ya kak, mau pulang dulu ke mama”
“Iya, hati-hati di jalan. Serahkan semuanya kepada Allah. Kita hanya merencanakan, namun semua kembali pada kehendak Nya.”
Rasanya lega banget seakan beban di pundak berjatuhan setelah semua usai diutarakan.
Malam semakin larut memaksa saya harus segera pulang kerumah dengan berbagai pikiran yang menggelayut. Bagaimana nantinya seandainya dia menerima. Bagaimana pula langkah selanjutnya seandainya dia menolak lamaran saya. Segera saya kabarkan hasil pembicaraan saya dengan dia kepada mama. Mama menyarankan untuk banyak berdoa, menyerahkan segala urusan ini kepada Allah.
Selasa, rabu, kamis dan akhirnya tiba juga hari jumat, hari dimana dia akan memberikan jawaban atas ajakan saya senin malam yang lalu. Frekuensi saya memandang handpone lebih intens di hari itu, jangan sampai ada pesan dari dia yang telat saya baca. Maghrib dan Isya pun berlalu tapi belum juga ada kabar darinya. Aahh…mungkin saya ditolak. Mungkin dia bukan untuk saya. Mungkin, mungkin.
Oke, hari yang dia janjikan berlalu juga. Saatnya saya berfikir untuk langkah selanjutnya. Yang ini menolak, berharap dipercobaan selanjutnya diterima. Mungkin yang kemarin saya terlalu pede, main langsung ngajak nikah aja, suka juga enggak mungkin dianya sama saya. Dari tiga nominasi yang telah kuperlihatkan ke mama malam itu, tersisa dua kandidat lagi. Siapa yang bakal saya hubungi lagi masih menjadi jawaban tersulit yang belum mampu kupecahkan di malam itu. Doa memohon petunjukNya mengalir deras. Lamaran ditolak, biarkan doa yang bertindak, asal jangan minta bantuan ke dukun saja.
“Iya kak, mama dan keluarga yang lain sudah setuju.”
Pesan singkat yang masuk di hp saya minggu pagi itu sempat membuat saya merasa melayang jauh ke angkasa, seakan terbang bersama burung-burung melintasi putihlembut awan dan hangatnya mentari. Yaah, sms itu dari dia. Saya baca kembali pesan singkat itu, saya pastikan nomer pengirimnya, dan benar, itu dari dia, Akhwat Sunda asal Sukabumi, rekan seperjuangan selama PPG di Bandung, yang saya hubungi di malam itu.
“Alhamdulillah, terima kasih” saya membalas singkat.
Segera saya temui Penciptanya melalui shalat dhuha, air mata syukur mengalir perlahan membasahi sadajah, empat rakaat terasa begitu nikmat saat itu. Kembali saya merayu kepada Allah, memohon dimudahlancarkan segala urusan kedepannya.
Tak sanggup rasanya kabar bahagia ini kupendam sendiri, segera saya sampaikan ke mama, bapak dan kakak yang di Banjarmasin. Senyum bahagia juga terlihat di wajah mereka.
Malamnya, ba’da shalat Isya, di ruang keluarga,tempat kami berkumpul sambil menonton tv, tiba-tiba Bapak meminta mama untuk mengambil semua tabungannya di kamar. Memang bapak dan mama selalu ingin cepat-cepat jika ada sesuatu yang telah direncanakan, begitu mengetahui kalau lamaran saya diterima, bersegera saja mereka mempersiapkan uang yang nantinya dibutuhkan untuk pernikahan saya. Terlihat mama mengambil sebuah amplop yang berisi beberapa ikat uang yang terikat oleh karet gelang dan sebuah celengan bambu yang dibuat sendiri oleh mama. Mama langsung memecahkan celengannya di depan kami, nampak pecahan duapuluhan, lima puluhan dan seratus ribuan terlipat kecil-kecil berhamburan di lantai. Bapak meminta saya menghitung semua uang yang ada, katanya ini hasil tabungan beberapa tahun yang lalu dan hasil penjualan mobil pete’-pete kami yang dijual saat saya mengikuti program SM3T di Papua. Saya tak mampu berkata-kata, mereka begitu ikhlas, saya tak tahu hati apa yang Allah ciptakan untuk mereka sehingga mereka rela berkorban apa saja untuk kami, anak-anaknya. Momen ini kembali menyadarkan saya kalau saya benar-benar beruntung memiliki orang tua yang sangat menyayangi saya. Belum tau apa yang bisa saya lakukan untuk membalas semua kebaikan mereka. Sebenarnya saya juga punya tabungan dari hasil menjadi guru kontrak SM3T, jadi guru honor, guru private dan saat jadi tentor di lembaga bimbingan belajar di Maros dan Makassar, tapi kata bapak simpan saja untuk keperluan kalian setelah menikah nanti.
Esoknya, segera saya menghubungi Pak Muin, dengan malu-malu saya sampaikan keinginan saya untuk ditemani ke Sukabumi melamar sang Akhwat. Keluarga Pak Muin adalah keluarga baru yang dipertemukan Allah waktu saya PPG di Bandung. Mereka sangat bersahaja. Hidup dalam kesederhanaan tapi tak membatasi mereka untuk selalu berbagi, terutama kepada kami mahasiswa PPG. Hampir tiap malam, ba’da shalat Isya, beliau mengajak kami makan malam di rumahnya. Terkadang kami juga menolak, takut keluarga beliau bosan melihat kami yang tiap hari datang bertamu. Dan benar saja, sosok beliau yang suka bercanda sontak menertawai saya, mengusili saya dengan gelontoran kata-kata ciiee, ciiee yang pastinya membuat saya malu sendiri. Beliau bersedia dengan berusaha mencari teman yang lebih paham masalah lamar-melamar, karena rendah beliau, beliau belum berpengalaman tentang begituan.
Sebenarnya saya dan dua rekan PPG yang pulang lebih dulu dari asrama PPG sudah sepakat dan berjanji tidak akan kembali lagi ke Bandung untuk mengikuti acara Yudisium. Seperti yang saya duga, kedua rekan PPG itu menganggap saya ingkar janji. Walau telah saya jelaskan berulang-ulang, tetap saja mereka tidak bisa menerima. Apalagi ditambah adanya kabar dari pihak Universitas bahwa mahasiswa yang tidak mengikuti acara yudisium tidak akan diberikan sertifikat pendidiknya. Akhirnya saya berusaha membujuk mereka dengan berjanji akan mengambilkan sertifikat mereka.
1 Maret 2015, berselang tiga hari setelah acara yudisium, berbekal alamat yang dia kirim lewat sms, saya berangkat menuju kabupaten Sukabumi bersama keluarga pak Muin dan pak Minto. Pak Minto inilah yang bakalan menjadi peyambung lidah keluarga besar saya di Maros yang belum bisa hadir karena alasan efisiensi kepada keluarga gadis sunda itu. Sesampainya di kediaman sang putri geulis, kami sudah disambut dengan berbagai makanan khas tanah Pasundan. Pak Minto langsung beraksi dengan bahasa sundanya yang cukup fasih, padahal Pak Minto bukan orang Sunda, hanya saja beliau rajin berguru ke sang istri. Perdebatan yang cukup sengit pun terjadi, pak minto yang tadinya di ruang tamu bersama kami, tiba-tiba dipanggil ke dalam ruang khusus bersama sebagian keluarga dari sang gadis. Tak boleh saya mengetahui obrolan mereka, hasilnya pun tak boleh diberitahu ke saya kecuali setelah kami pulang ke Bandung lagi. Acara lamaran pun berakhir dengan makan siang bersama.
Sesampainya kami di Bandung, setelah melihat saya sudah enakan lagi pasca perjalanan panjang yang melelahkan karena macet parah di jalan, barulah pak Minto memaparkan semua yang dibicarakan pada acara lamaran pagi tadi. Sempat kaget juga mendengarnya. Tak berani saya mengabari Bapak tentang ini, kecuali meminta kakak yang menyampaikannya.
“Lisuno Nak, koni’mai sappa laingnge, de’ kapang diullei kosikoro naillau taue’, ” begitulah pesan berbahasa bugis Bapak melalui telepon setelah beliau mengetahui hasil di acara lamaran tadi. Kakak dan keluarga-keluarga di Maros pun meminta saya untuk pulang saja, mencari calon di Maros saja.
“Kalaupun kita paksakan, Insya Allah bisa Nak, Cuma rasanya berlebihan jikalau untuk acara yang sehari nanti kita habis-habisan sampai harus pinjam uang di bank, kedepannya kalian sendiri yang repot bayar-bayar pinjaman di bank. Harusnya pak Minto ngomong dulu, tidak usah tunangan dulu, surat-surat yang dari kantor KUA juga jangan diserahkan dulu disana, nah kalau sudah seperti ini, kalau tidak jadi, kan repot mau mengambilnya lagi disana.” Kembali Bapak melanjutkan unek-uneknya. Bapak yang memang saya kenal sebagai sosok yang kritis, bijak dan berpandangan luas selalu menjadi tempat bagi kami mengadukan masalah-masalah untuk meminta solusi.
Esoknya, ba’da shalat dhuha, saya berinisiatif untuk menghubungi ibunya si gadis sunda itu. Saya menjelaskan keadaan saya dan keluarga kepadanya. Dan alhamdulillah beliau setuju, meski kedengarannya agak berat. Saya sebenarnya bisa memaklumi, ditengah harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, keinginan untuk menyemarakkan resepsi pernikahan pertama di keluarga, ditambah adanya kabar kalau dia melangkahi tetehnya. Segera saja kabar baik ini saya sampaikan ke bapak dan keluarga di Maros dan Makassar.
Berjeda 27 hari sejak lamaran dan akad nikah, dengan alasan penghematan, maka saya memutuskan untuk tetap di Bandung meski harus merepotkan pak Muin dan keluarganya, mengisi hari-hari itu untuk banyak belajar di pesantren aa Gym yang memang kebetulan dekat dengan rumah pak Muin, paling senang kalau ada yang akad nikah di mesjid Darut Tauhid, bisa sekalian belajar cara ijab kabul. He.he.
Ditengah persiapan mahar, seserahan dan akomodasi nantinya ke Sukabumi, sempat ingin teriak, ingin protes, dimana keluargaku, dimana mereka saat saya butuh, kenapa semua ini saya lakukan sendirian. Aah…cengeng, tidak gentle, kekanak-kanakan saya ini.
27 Maret 2015
Hari ini bapak dan mama akan berangkat dari Makassar ke Bandung. Sempat khawatir juga, soalnya ini adalah pengalaman pertama mereka naik pesawat, padahal jauh sebelum mereka berangkat sudah saya jelaskan alur cara cek in, ke ruang tunggu, saat naik ke pesawat, saat nunggu bagasi, pokoknya lengkap kap kap. He.he.he. Dan Alhamdulillah ba’da Maghrib mereka mendarat di Bandung dengan selamat. Segera kami menuju kediaman pak Muin, rapat persiapan keberangkatan esok hari pun tak terelakkan, Pak Muin, Pak Minto, saya, bapak dan mama duduk melingkar mengelilingi burasa dan makanan khas Makassar yang dibawa mama ke Bandung. Oke fix, kita berangkat ba’da Subuh esok.
28 Maret 2015
Sebelum subuh semuanya sudah pada bangun mempersiapkan diri masing-masing. Mama kedinginan, tak berani beliau menyentuh air, persis waktu saya pertama kali menginjak Bandung dulu. Hampir satu jam kami menunggu, tapi Pak Minto belum juga datang menjemput, sementara di mobil yang lain, rombongan Pak Edi Suresman, Ibu Isa dan kang Jajang sudah gelisah menunggu di depan gerbang UPI. Mereka pun memutuskan berangkat duluan untuk menghindari macet dan menunggu kami di Cianjur. Mama terus menasehati bapak yang mulai emosi. Akhirnya kami berangkat satu jam lebih lambat dari rencana. Macet dan terkadang berhenti di jalan karena mama mulai mabuk perjalanan menambah panjang durasi perjalanan Bandung-Sukabumi. Handpone saya tak berhenti berdering, calon pengantin wanita, calon mertua dan keluarga-keluarganya silih berganti menanyakan posisi kami.
“Udah Zal, kalau gak mau nunggu lagi, suruh aja cari pengganti penganten laki-lakinya. He.he.” Ahh…Pak Muin masih saja bisa bercanda disaat-saat seperti ini.
Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga meski sangat telat. Kegelisahan calon penganten wanita, keluarga dan para tetamu, terbayarkan ketika melihat pangeran ganteng tanah Bugis turun dari mobil. He.he. Akad nikah yang direncanakan pukul 08:00 pagi, ternyata Allah menghendaki di pukul 10:55.
“SAH”
“SAH”
“Alhamdulillah”
Babak baru kehidupan bersamanya dimulai. Iringan do’a dari orang tua, keluarga, tetangga dan sahabat mengeratkan ikatan suci ini.
Yang haram kini menjadi halal, yang maksiat kini menjadi ibadah, kekejian kini menjadi kesucian, dan kebebasan kini menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun kini berubah menjadi cinta dan kasih sayang.
Aduhaai…Nikmatnya.
Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia.
Ya Allah, limpahkanlah kami cinta yang engkau jadikan pengikat rindu Rasulullah dan khadijah Al Qubro, yang Engkau jadikan mata air kasih sayang Imam Ali dan Fatimah Az-Zahra, yang Engkau jadikan penghias keluarga Nabimu yang suci.
Ya Allah…jadikan kami suami istri yang saling mencintai dikala dekat, saling menjaga kehormatan dikala jauh, saling menghibur dikala duka, saling mengingatkan dikala bahagia, saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling menyempurnakan dalam peribadatan.
Ya Allah…sempurnakan kebahagiaan kami dengan menjadikan pernikahan ini sebagai ibadah kepadamu dan bakti kepada kepengikutan dan cinta kami kepada sunnah keluarga Rasul-Mu.
Aamiin
0 komentar:
Posting Komentar